Posted by :
Robbi Syahputra
Kamis, 13 Februari 2014
Ada masanya permintaan akan Seni Kriya kain batik begitu tinggi, sementara kapasitas produksi Seni Kriya batik tulis tidak bisa memenuhinya karena keterbatasan sumber daya manusia maupun prosesnya sendiri yang memakan waktu lama. Kekurangan pasokan Karya seni kriya batik ini kemudian memunculkan ide untuk membuat Karya seni kriya Batik Cap. Pemikirannya, motif batik bisa dibuat lebih cepat secara berulang dengan menggunakan cap atau stempel motif batik.
Penggunaan cap batik ini telah dicatat oleh Thomas Stamford Raffles saat ia menjadi gubernur jendral Inggris di Jawa (1811-1816). Saat itu, yang digunakan adalah stempel dari kayu, untuk menempelkan bahan warna nabati pada kain. Namun warna kain dengan cap memakai cara ini tidak tahan lama. Sebelum masa itu konon pernah dipakai juga stempel dari potongan melintang umbi besar. Pada potongan itu diukirkan motif yang akan distempel. Umbi dicelupkan ke cairan malam (lilin batik) dan dicapkan ke kain. Cara ini juga tidak efektif karena stempelnya tidak tahan lama dan garis malamya tidak rata. Kemudian berkembang stempel kayu, lalu stempel kayu dengan pasak-pasak kecil yang dipakukan untuk membuat garis-garis. Namun ternyata pasak ini lebih cocok untuk membuat isen-isen (pengisi) berupa titik-titik.
Sekitar tahun 1845, mulailah diperkenalkan cap dari tembaga. Garis-garis motif dibuat dari alur-alur tipis plat tembaga, yang dipatri dengan timah ke kerangka yang kemudian diberi gagang besi. Teknik ini mirip cara yang dipakai para perajin emas dan perak China, sehingga diduga teknik cap tembaga pada batik ini dibawa oleh para pedagang China. Ukuran capnya masih kecil, sekitar 10x10 cm. Penemuan pasak-pasak penanda titik hubung di keempat sudut cap agar pola batik itu bisa diulang - ulang dengan sempurna oleh tukang pencapnya, baru ditemukan sekitar tahun 1930.
Meski cap dari tembaga ini jauh lebih mahal, namun hingga sekarang terus digunakan, karena motif yang dihasilkannya lebih akurat, tembaga mudah dibentuk untuk membuat berbagai detil motif dan berbagai ukuran, serta tahan lama. Usia cap tembaga ini bisa mencapai 10 tahun, asal disimpan dengan baik dan cap tidak patah atau rusak. Dengan ditemukannya teknik cap, mulailah kaum laki-laki turut mengerjakan produksi kain batik.
Sebelumnya, membatik adalah pekerjaan kaum perempuan. Produksi batik cap pun semakin berkembang di Indonesia khususnya di Jawa Tengah, dengan jumlah perajin terbanyak ada di Pekalongan, disusul Solo, Yogyakarta, Lasem, dan kota-kota lain di Jawa seperti Cirebon, Tasikmalaya dan Bandung. Jumlah perajin cap di Pekalongan saat ini kurang dari 50 orang, karena sebagian besar pindah ke beberapa kota termasuk ke Jawa Timur, Bali, dan kota-kota lainnya.
Cara Pembuatan Batik Cap
Meski cap dapat mempercepat proses pembuatan karya seni kriya batik, pembuatan capnya sendiri tidaklah sesederhana yang kita pikirkan. Butuh waktu yang lama dan memerlukan banyak langkah, serta tentu perajin cap yang mumpuni. Langkah awal pembuatan cap dimulai dengan mendesain motif batik cap, dengan cara membuat sketsa desain secara manual pada kertas roti atau kertas kalkir, maupun dengan bantuan teknologi desain grafis pada komputer. Biasanya motif geometris dibuat dengan komputer, sebab motif ini mudah diulang dengan ‘copypaste’. Motif yang meliuk-liuk seperti flora dibuat secara manual, sebab motif ini memiliki detail yang lebih rumit dan lebih tidak terukur.
Langkah berikutnya adalah membuat ancak, yakni rangka dasar untuk pemasangan motif cap. Motif cap akan direkatkan ke rangka ini agar kokoh dan tidak lepas atau bergeser. Membuat matriks rangka ini saja memerlukan keahlian dan ketelitian dalam hal teknik penguncian antar sambungan pelat agar rangka ini kokoh.Kemudian dimulailah membuat motif tembaganya. Ini bagian yang paling menarik, karena kita bisa melihat bagaimana si perajin cap mentransformasi motif yang ada di kertas contekan menjadi motif dari potongan-potongan pelat tembaga. Melihat bagaimana ia mengukur panjang pelat dengan alat jangka, lalu menekuk-nekuknya dengan pinset besi agar sesuai dengan liukan pola di kertas, akan membuat kita terkagum-kagum. Saat melihat bagian ini pula, umumnya timbul keinginan untuk bisa menirukan cara si perajin dalam mengukur dan menekuk pelat. Dan memang, untuk bisa memahami dan menghargai cara membuat cap ini, satu-satunya cara adalah melihat dan mempraktekkannya langsung.
Setelah membentuk motif besarnya, pekerjaan selanjutnya adalah mengisi ruang-ruang kosong di antara motif tembaga itu dengan pola tutul (titik-titik) menggunakan logam seng yang dibentuk menyerupai sisir. Batang-batang ‘sisir’ yang lancip menghadap ke atas dan memenuhi ruang kosong yang diisinya. Berikutnya, perajin membuat pola tembokan –bagian motif yang seluruhnya ditutup malam– lalu pola bajelan, yang berfungsi sebagai pengganjal agar motif yang sudah terpasang tetap kokoh di tempatnya. Bagian membuat motif tembaga ini membutuhkan waktu paling lama, karena si perajin harus menyelesaikan semua lekukan, sambungan, dan juga titik-titik sesuai motif di kertas.
Pekerjaan membuat cap belum selesai sampai di sini. Masih banyak tahapan lain sampai cap itu benar-benar siap dipakai. Berikutnya adalah membuat siwer, bagian penghubung untuk melekatkan gagang cap dengan rangka ancak. Gagang cap ini juga mesti dibuat secara manual dari besi. Lalu pemasangan titik pengulangan motif (sentil), dan pematrian motif serta seluruh sambungan dan celah di dalam cap menggunakan campuran patri dan bubuk besi. Cap kemudian dibakar dalam arang membara agar sambungan patri ini mengeras dan cap pun kokoh. Proses berikutnya adalah penataan, yakni pencabutan kembali kuncian-kuncian sementara pada rangka cap, karena kini motif cap sudah permanen oleh pematrian. Si perajin kemudian menuang cap dengan cairan gondorukem panas, yang akan mengeras dalam dua jam. Permukaan cap yang tertutup gondorukem padat ini digosok dengan logam bergerigi seperti gergaji, sampai motifnya terlihat kembali dengan lebih mengilat dan rata di seluruh permukaan. Cap dipanaskan lagi di dalam wajan untuk mencairkan gondorukem, hingga diperolehlah cap hasil akhir dengan bagian motifnya yang mengilat dan rata.
Terakhir, dilakukan tes cap pada kain atau kertas. Jika hasil cap belum rata atau motifnya ada yang kurang jelas ataupun garisnya terputus, dilakukan lagi pengulangan dari tahap penuangan gondorukem. Jika hasil cap sudah seperti yang diharapkan, barulah cap itu siap dipakai.
Antara Harga dan Sumberdaya
Lama waktu untuk membuat cap tergantung dari detil motif. Untuk ukuran cap standar 18X18 cm dengan motif yang tidak terlalu rumit, dibutuhkan 10-15 hari. Jika motifnya rumit, bisa sampai 3 minggu. Tak heran jika harga cap ini relatif mahal. Harga satu cap ukuran standar bisa mencapai Rp 1-1,5 juta, sudah termasuk biaya perbaikan desain motif. Kalau capnya saja Rp 600-850 ribu. Harga lempengan tembaga sendiri, yang dibeli perajin di daerah Tegal atau Pekalongan, sekitar Rp 125-130 ribu per kilogram.
Pendidikan khusus untuk mencetak ahli pembuat karya seni kriya batik cap ini belum ada di sekolah-sekolah umum maupun kejuruan. Yang ada hanyalah belajar di lingkungan keluarga secara turun-temurun atau dari perajin batik senior yang mau berbagi pengalaman. Biasanya, perajin batik yang masih baru akan mendatangkan pembuat cap dari sentra perajin cap seperti Pekalongan untuk memberikan kursus ke beberapa karyawan pembatik baru sampai mereka mahir. Nanti para karyawan ini menularkan ilmunya kepada karyawan lain yang memiliki keinginan untuk belajar. Begitulah seterusnya sehingga perajin cap ini terus bertambah dan keahlian ini tidak punah.
Disadur dari majalah Batik edisi Mei 2013