Posted by :
Robbi Syahputra
Kamis, 13 Februari 2014
Seni Batik adalah hasil karya kain dari Indonesia yang kaya akan simbol, motif, warna, dan cerita yang panjang di balik proses pembuatannya. Siapapun yang pernah mengamati dengan seksama, serta menyentuh kain batik produksi Indonesia, pasti akan terpesona dengan keindahan, keunikan, dan kerumitan desain kain spesial ini. Keterpesonaan itu tak hanya dialami orang asing, namun juga oleh orang Indonesia sendiri yang tidak bersentuhan langsung dengan proses pembuatan batik. Malah, sebenarnya, banyak orang Indonesia yang belum paham bagaimana sebenarnya proses pembuatan batik itu, dan menjadi makin terkagum-kagum dan bangga begitu datang ke sebuah workshop batik dan melihat prosesnya dari awal hingga akhir. Ya, karena setiap batik memang sebuah karya cipta yang bermutu tinggi.
Secara sederhana, batik didefinisikan sebagai kain bercorak khusus yang dibuat dengan teknik pencelupan dan penggunaan malam (wax) sebagai perintangwarna. Dari bahasa apa ‘batik’ berasal, dan sejak kapan batik mulai dikenal di Indonesia, tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti. Relief tokoh-tokoh yang terpahat di candicandi Hindu dan Buddha di Jawa yang dibangun abad ke-8, misalnya, sudah mengenakan kain dengan hiasan motif-motif yang mirip dengan motif-motif batik klasik.
Namun sebagian ahli berpendapat, batik baru benar benar berkembang pesat di masa pemerintahan Sultan Agung (1613- 1645), raja terbesar Kerajaan Mataram Islam. Hal ini terkait dengan ambisinya untuk menyatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaannya, dan mengangkat segala sesuatu yang berbau Jawa, yang dianggap mempunyai kebudayaan tinggi. Seni Batik termasuk di dalamnya. Meski, dimasa itu dan di abad berikutnya, penggunaan batik masih terbatas dilingkungan keraton, dengan motif-motif yang terbatas, serta dengan berbagai aturan penggunaan dan larangan bagi masyarakat umum untuk memakainya.
Ditemukannya canting dan cap tembaga pada abad ke-19, bocornya teknik pembuatan batik ke luar tembok keraton, banyaknya migrasi orang-orang China ke daerah pesisir utara Jawa, serta peran para wanita Belanda yang tertarik untuk mengembangkan batik dari segi motif maupun bisnisnya, berdampak pada munculnya sentra-sentra batik baru. Kalau semula batik hanya ‘dikuasai’ oleh Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta yang letaknya relatif di pedalaman, maka interaksi para pedagang lokal dengan para imigran China maupun kaum elite Belanda -yang waktu itu menjajah Indonesiamemunculkan batik Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Lasem, Tuban, dan Sumenep (Madura). Kesemuanya merupakan kota-kota di pesisir utara
Pulau Jawa.
Hal ini juga berdampak pada makin berkembangnya motif-motif dan warna batik. Jika batik keraton mempunyai motif-motif yang kaku dan warna yang terbatas seperti cokelat muda, cokelat tua, ungu, hitam, maka batik pesisiran ini mempunyai motif-motif yang bebas dan warna-warna yang lebih kaya dan ceria, misalnya hijau, biru muda, oranye, dan merah, dikombinasikan dengan warna-warna yang sudah ada.
Berkembangnya batik peranakan Tionghoa, Batik Belanda (1840-1940), batik Jawa Hokokai (1943-1945) di masa penjajahan Jepang, ikut memberi warna pada perkembangan batik. Terlebih ketika tahun 1950, Ir. Soekarno, presiden pertama Indonesia, mencanangkan batik sebagai busana nasional, batik pun berkembang menuju era modern, dan semua orang mulai bisa memakainya.
Berkembangnya batik peranakan Tionghoa, Batik Belanda (1840-1940), batik Jawa Hokokai (1943-1945) di masa penjajahan Jepang, ikut memberi warna pada perkembangan batik. Terlebih ketika tahun 1950, Ir. Soekarno, presiden pertama Indonesia, mencanangkan batik sebagai busana nasional, batik pun berkembang menuju era modern, dan semua orang mulai bisa memakainya.
Sejarah batik yang panjang, mutunya yang tinggi, serta keunikannya yang khas Indonesia itulah yang kemudian membuat UNESCO pada 2 Oktober 2009 lalu mengukuhkan Seni Batik sebagai warisan budaya Indonesia. Imbas pengakuan ini adalah popularitas batik yang makin meningkat, dan makin bergairahnya industri batik, yang umumnya dikerjakan oleh rumahtangga, industri kecil, dan industri menengah. Tak hanya di Jawa, batik-batik dari berbagai daerah seperti Lampung, Palembang, Banjarmasin, Sumbawa, hingga Papua pun bermunculan, dengan mengangkat motif-motif lokal yang tak kalah eksotik.
Teknik Pembuatan Batik
Proses yang Rumit Dari segi teknik pembuatannya, batik dibedakan menjadi Batik tulis dan Seni Batik Cap. Sedangkan ‘batik print’ yang menggunakan teknik sablon umumnya tidak dikategorikan sebagai batik, melainkan ‘kain bermotif seperti batik’. Jika kita mengamati kain batik tulis atau cap secara lebih dekat, dan melihat kerumitan desain serta warnanya, maka kita akan segera paham bahwa kain ini merupakan kombinasi antara seniman pendesain motif yang brilian, proses yang memerlukan kerja keras dan banyak tahap, penggunaan tenaga kerja dengan berbagai keahlian, serta pemakaian bahan-bahan pembuat Seni Batik yang cukup banyak.
Pembuatan batik sekurangnya melalui lima tahap proses berbeda. Awalnya, dari penuangan ide si seniman pembuat batik -yang umumnya juga desainer motif batik- ke dalam kertas. Motif ini bisa motif klasik yang menjadi ciri khas daerah di mana si pembatik tinggal, bisa juga motif baru yang sengaja diciptakan si pembatik. Sketsa kasar motif ini kemudian disempurnakan dan disesuaikan ukurannya ke dalam kertas kalkir.
Pembuatan batik sekurangnya melalui lima tahap proses berbeda. Awalnya, dari penuangan ide si seniman pembuat batik -yang umumnya juga desainer motif batik- ke dalam kertas. Motif ini bisa motif klasik yang menjadi ciri khas daerah di mana si pembatik tinggal, bisa juga motif baru yang sengaja diciptakan si pembatik. Sketsa kasar motif ini kemudian disempurnakan dan disesuaikan ukurannya ke dalam kertas kalkir.
Lalu, motif besar ini dijiplak ke atas kain putih yang akan dibatik, apakah itu memakai pensil untuk batik tulis,
atau cap tembaga untuk batik cap. Kain kemudian dicanting, yakni proses penutupan bagian-bagian yang tidak ingin terkena pewarnaan, menggunakan malam, dan diberi isen-isen atau motif pengisi.
Kain lalu mengalami pencelupan pertama dalam zat pewarna. Setelah dicuci dan dikeringkan, diperolehlah warna pertama. Malam yang masih menempel pada kain akan melindungi bagian yang ditutupi itu supaya tidak terkena warna pertama.
Malam itu lalu dilorod, yakni dilepaskan dengan merebus kain dalam air mendidih. Nah, bagian yang tadi diwarnai pertama itu kini ditutup dengan lilin. Bagian yang tadi diberi lilin (sekarang lilinnya sudah lepas) giliran untuk diwarnai.
Begitu terus berulang-ulang, tergantung seberapa banyak jumlah warna yang diinginkan dalam kain batik itu.
Begitu terus berulang-ulang, tergantung seberapa banyak jumlah warna yang diinginkan dalam kain batik itu.
Kadang ada juga batik dua sisi, yakni kedua sisi kain itu diwarnai. Tak heran jika untuk membuatan satu kain batik yang bermutu tinggi bisa memerlukan waktu hingga tujuh bulan! Tidak mengherankan pula jika harganya mahal, ada yang mencapai di atas Rp 10 juta per lembar.
Meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan dan juga kesehatan para pekerja, membuat para seniman batik mulai memperhatikan aspek pengelolaan limbah dan juga kesehatan dan keselamatan kerja. Bagaimanapun, proses pembuatan batik ini menggunakan bahan-bahan yang bisa berbahaya, seperti zat warna sintetis dari kelompok azo dyes, soda kaustik, asam klorida, turkish red oil, deterjen, dan malam. Pemakaian zat warna alami yang berasal dari kulit batang, kayu, atau akar tanaman juga bukannya tidak ada masalah, karena ini bisa memicu penebangan pohon secara serampangan.
Karenanya, para seniman batik yang sudah cukup maju umumnya melengkapi para pekerjanya dengan ventilasi ruang kerja yang cukup, boots, sarung tangan, dan masker. Limbah proses pembatikan sendiri bisa berupa gas, zat cair, dan zat padat. Uap atau gas berasal dari pemasakan malam dan proses nglorod. Limbah cair berasal dari sisa zat warna, air perebus, serta air pencuci. Sedangkan limbah padat berupa sisa kain, malam bekas yang sebagian besar dipakai ulang dan sisa zat pewarna alami. Limbah cair memerlukan penanganan yang serius, dan sebagian industri batik rumahtangga yang cukup besar mulai menyediakan sarana bak pengolahan limbah cair sederhana dari beton, yang terdiri dari satu unit bak penetral, satu unit bak penampung, dan tiga unit bak penyaring.
Sebagian besar industri Seni Batik rumah tangga juga terletak di pemukiman penduduk, yang, meskipun menggunakan tenagatenaga kerja dari lingkungan sekitar, namun proses produksinya juga bisa mengganggu lingkungan. Karena itu para pembatik yang sudah cukup besar kini mulai memindahkan workshop pembatikan itu ke lokasi yang terpisah dari pemukiman.
Disadur dari Majalah Batik Edisi Mei 2013
Meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan dan juga kesehatan para pekerja, membuat para seniman batik mulai memperhatikan aspek pengelolaan limbah dan juga kesehatan dan keselamatan kerja. Bagaimanapun, proses pembuatan batik ini menggunakan bahan-bahan yang bisa berbahaya, seperti zat warna sintetis dari kelompok azo dyes, soda kaustik, asam klorida, turkish red oil, deterjen, dan malam. Pemakaian zat warna alami yang berasal dari kulit batang, kayu, atau akar tanaman juga bukannya tidak ada masalah, karena ini bisa memicu penebangan pohon secara serampangan.
Karenanya, para seniman batik yang sudah cukup maju umumnya melengkapi para pekerjanya dengan ventilasi ruang kerja yang cukup, boots, sarung tangan, dan masker. Limbah proses pembatikan sendiri bisa berupa gas, zat cair, dan zat padat. Uap atau gas berasal dari pemasakan malam dan proses nglorod. Limbah cair berasal dari sisa zat warna, air perebus, serta air pencuci. Sedangkan limbah padat berupa sisa kain, malam bekas yang sebagian besar dipakai ulang dan sisa zat pewarna alami. Limbah cair memerlukan penanganan yang serius, dan sebagian industri batik rumahtangga yang cukup besar mulai menyediakan sarana bak pengolahan limbah cair sederhana dari beton, yang terdiri dari satu unit bak penetral, satu unit bak penampung, dan tiga unit bak penyaring.
Sebagian besar industri Seni Batik rumah tangga juga terletak di pemukiman penduduk, yang, meskipun menggunakan tenagatenaga kerja dari lingkungan sekitar, namun proses produksinya juga bisa mengganggu lingkungan. Karena itu para pembatik yang sudah cukup besar kini mulai memindahkan workshop pembatikan itu ke lokasi yang terpisah dari pemukiman.
Disadur dari Majalah Batik Edisi Mei 2013